Hasil uji coba NASA menunjukkan kalau nuklir bisa mengatasi pemanasan global. Tapi, efek sampingnya: penyakit dan paceklik.
NASA
melakukan simulasi perang nuklir yang melibatkan bom dengan level 100
bom Hiroshima. Setiap bom setara dengan 15.000 ton TNT--hanya 0,03
persen dari kekuatan nuklir yang ada saat ini.
Para ilmuwan memperkirakan bom itu akan menghasilkan 5 juta metrik ton karbon hitam ke troposfer, lapisan atmosfer paling bawah. Dalam model simulasi NASA, karbon menyerap panas matahari dan membawanya ke atas.
Setelah perang nuklir itu, temperatur global akan turun 1,25 derajat Celcius untuk dua hingga tiga tahun ke depan. Demikian hasil yang diberikan oleh model simulasi. Pada kondisi ekstrem, negara tropis, Eropa, Asia, dan Alaska akan mendingin sebanyak 5,4 hingga 7,2 derajat Celcius. Sebagian daerah kutub utara dan selatan akan sedikit menghangat karena perubahan angin dan pola sirkulasi lautan, demikian para ilmuwan menjelaskan. Model simulasi juga memprediksikan kalau setelah 10 tahun, temperatur akan tetap 0,5 derajat Celcius lebih rendah dibandingkan sebelum perang nuklir.
"Pendinginan global yang disebabkan awan karbon ini tidak separah perang adu nuklir bertenaga super, tapi efeknya adalah perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata peneliti Luke Oman.
Terkesan baik? Belum tentu. Masih ada efek lain. "Pertanian akan memperoleh dampak buruk," jelas Oman. Ilmuwan dari NASA itu memberi contoh dampak letusan Gunung Tambora pada 1815 yang menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan beberapa tahun setelah letusan. "Gunung api dari Indonesia itu menyebabkan 'tahun tanpa musim panas', kelaparan, dan kelelahan," kata Oman.
Sebagai efek buruk tambahan, Michael Mills, ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research di Colorado, AS, menyebutkan adanya pengurangan pada lapisan ozon. Akibatnya, banyak sinar ultraviolet yang mencapai Bumi, mengancam lingkungan dan manusia.
"Pesan utama dari penelitian kami," kata Oman, "adalah konflik nuklir kecil pun punya dampak global." (Sumber: National Geographic News)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar